SEBAB PEMINDAHAN IBUKOTA HARUS DILAKUKAN
ALASAN MENGAPA IBUKOTA HARUS DI
PINDAHKAN
Baiklah sobat budiman, pertama
kita akan membahas tentang mengapa jakarta tidak layak lagi sebagai ibukota ?
Aapabila kita mendengar jakarta, di pikiran kita langsung terbayang kota
metropolitan dengan peredaran uang terbesar di indonesia. Jakarta memiliki luas
sekitar 661,52 km² (lautan: 6.977,5 km²) yang menampung 15.052,84/km2
atau sekitar 10 juta jiwa penduduk. Ini akan bertambah apabila saat pagi
hingga siang hari yang merupakan jam sibuk kerja masyakat yang sebagian
masyarakat kota lain bekerja di jakarta menjadi 28 jutaan jiwa. Melihat angka
jumlah penduduk jakarta menjadikan kota terpadat dan mtropolitan terbesar di
asia tenggara dan kedua di dunia. Saya hanya bisa berkata Wow dalam hati.
Sungguh luar biasa. Dalam normalnya, jumlah penduduk jakarta sekitar 5 juta
jiwa atau setengah jumlah populasi sekarang. Dengan tidak normalnya jumlah
penduduk di jakarta menghadirkan persoalan – persoalan yang sangat kompleks.
Contohnya saya ialah :
-
Kemacetan
Kemacetan di
jakarta tidak akan ada solusinya karena jumlah kendaraan di jakarta selalu
meningkat tiap tahunnya. Jumlah peningkatan kendaraan bermotor di jakarta 5.000
sampai dengan 6000 perhari. Sedangkan jumlah roda empat di ibukota jakarta
1.600 perhari. Kita bisa bayangkkan sobat, berapa ratus ribu jumlah kendaraan
di ibukota jakarta tiap tahunnya. Satu kta untuk itu “Amazing”. Menurut para
sobat semua, masih pantaskah jakarta sebagai ibukota negara indonesia dengan
tidak terkendalinya kendaraan di jakarta.
-
Sebagai pusat bisnis, politik, dan kebudayaan
Jakarta
merupakan tempat berdirinya kantor-kantor pusat BUMN, perusahaan swasta, dan
perusahaan asing. Kota ini juga menjadi tempat kedudukan lembaga-lembaga
pemerintahan dan kantor sekretariat ASEAN Jakarta dilayani
oleh dua bandar udara, yakni Bandara Sukarno-Hata dan Bandara Halim Perdanakusuma , serta satu
pelabuhan laut di Tanjung Priok. Jakarta menjadi pusat –
pusat bisnis dan kenegaraan yang menambah problema di jakarta. Apabila ibukota
kita di pindahkan maka pusat pemerintahan akan berpindah sehingga mengurangi
hambatan – hambatan yang terjadi pada kegiatan kenegaraan.
-
Jumlah penduduk over
Jumlah penduduk
jakarta sekitar 10 juta jiwa merupakan jumlah yang sudah melewati jumlah
kepadatan penduduk yang hanya 5 juta saja di jakarta. Jumlah ini akan bertambah
pada jam sibuk karena banyak masyarakat kota lain yang bekerja di jakarta.
-
Kesesejenjangan sosial
Jakarta
merupakan tempat orang – orang kaya di indonesia sehingga menjadikan
kesenjengjangan sosial yang sangat tinggi. Banyak pengemis dan masyarakat yang
tinggal di perkampungan kumuh
dipinggiran sungai dan di bawah jembatan.
-
Banjir
Banjir selalu
menjadi aktivitas tahunan yang pasti akan terjadi di jakarta. Dengan jumlah
penduduk yang banyak sehingga keterbatan lahan kosong membuat banyak warga
jakarta yang tinggal di pinggiran sungai yang mengakibatkan lebar sungai
ciliwung mengalami pendangkalan dan pengurang debet luas sungai. Sebenarnya
masalah banjir tidak bisa menjadikan masalah utama terjadinya pemindahan
ibukota karena itu merupakan ambisi emosional. Tetapi menjadi hal pendukung
problema di ibukota.
Berikut ini saya akan saya
tampilkan pendapat beberap pakar yang mendukung pemindahan ibukota :
Andrinof Chaniago
Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Indonesia ini adalah pendukung kuat pemindahan
Ibukota. Andrinof yang mendalami kebijakan publik ini menyatakan, daya dukung
Pulau Jawa khususnya Jakarta dan sekitarnya tak memadai lagi untuk Ibukota.
Andrinof menyatakan, satu bom
sosial siap meledak di Jakarta 20 tahun lagi. Kesenjangan sosial kian tajam,
kriminalitas tinggi, taraf kesehatan menurun. Gangguan jiwa meningkat.
"Kalau tak ada keputusan
politik untuk pindah Ibukota, kita mungkin menghadapi ledakan sosial seperti
Mei 1998," kata Andrinof pada Kamis 29 Juli 2010. Solusinya bagi Andrinof,
Ibukota harus dipindahkan ke sebuah kota baru di Kalimantan.
Yayat Supriyatna
Planolog dari Universitas
Trisakti, Jakarta, ini mendukung upaya pemindahan Ibukota dari Jakarta. Menurut
Yayat, Jakarta tidak pernah disiapkan secara matang untuk menjadi Ibukota
dengan skala sebesar sekarang. Dari sekadar kota perdagangan, kemudian harus
menampung aktivitas pemerintahan dalam skala besar. "Akhirnya apa yang
terjadi?" kata Yayat. "Fungsi dan perannya tidak jelas."
Sebagai pusat pemerintahan, beban
itu bertambah dengan paradigma pemerintahan Orde Baru yang sentralistis. Pembangunan
dirancang di Jakarta sehingga menjadi bias. "Kota ini lalu menjadi daya
tarik yang besar bagi penduduk di luarnya," kata Yayat.
"Ujung-ujungnya, apa-apa Jakarta, tidak terpikir mengembangkan daerah-daerah
di sekitarnya."
Dan beban berlebihan itu baru
terasa dekade belakangan. Jakarta mengalami kemacetan. Jakarta kekurangan air
bersih namun di lain pihak kebanjiran di saat hujan sebentar. Lingkungan hijau
juga tergerus oleh pemukiman.
"Idealnya, penduduknya hanya
4 sampai 5 juta jiwa, setengah dari sekarang," kata Yayat. Namun statistik
terakhir, kata Yayat, diperkirakan penduduk resmi Jakarta mencapai lebih dari
9,5 juta jiwa.
Solusinya, Ibukota Pemerintahan dipindahkan namun bukan dengan membangun kota
baru. Membangun kota baru, kata Yayat, membutuhkan dana yang sangat besar.
Jakarta tetap menjadi Ibukota Negara, namun pemerintahan mulai
diredistribusikan ke daerah-daerah. "Misalnya ke Jonggol, Karawang,
Kalimantan," katanya.
Haryo Winarso
Planolog Institut Teknologi
Bandung ini bersikap, pemindahan Ibukota jangan berdasarkan faktor Jakarta yang
macet dan semrawut saja. Memindahkan Ibukota tidak serta merta menghilangkan
segala masalah yang ada di Jakarta saat ini seperti kemacetan.
“Karena kalau alasannya untuk
mengurangi kemacetan itu emosional, jangka pendek dan itu tidak benar,” kata
Haryo Winarso kepada VIVAnews, Rabu 4 Agustus 2010.
Menurutnya Ibukota tidak dapat
pindah ke dalam lokasi berdekatan seperti Jonggol dan Karawang karena hal
tersebut hanya akan memperpanjang kemacetan. “Karena orang-orang yang terlibat
pemerintahan tetap tinggal di Jakarta sehingga akan tetap macet,” katanya.
Jika Ibukota tetap berada di
Jakarta maka solusinya adalah pemerintah harus menerapkan manajemen
transportasi massal yang baik dan mengeluarkan kebijakan yang tidak populis
seperti pembatasan kendaraan pribadi dan menaikkan tarif parkir. “Jika
transportasi massal telah baik dan adanya pembatasan kendaraan pribadi maka
kemacetan dapat berkurang, hal ini telah diterapkan di negara-negara lain
seperti Singapura,” ujarnya.
Sonny Harry B. Harmadi
Pakar demografi Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia ini mendukung pemindahan Ibukota ke luar Jakarta dan
bahkan ke luar Jawa. Sonny menilai, kepadatan penduduk dan pemusatan aktivitas
yang terus meningkat di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi
menjadikan daerah ini tidak lagi ideal sebagai kandidat Ibukota baru Republik
Indonesia.
"Jabodetabek, bahkan seluruh
Jawa, sudah terlalu penuh karena 55 persen penduduk Indonesia ini berdomisili
di Jawa," kata Sonny dalam dialog bertajuk 'Urgensi Pemindahan Pusat
Pemerintahan' di gedung DPD, Senayan, Jakarta, Rabu 4 Agustus 2010.
Jika pusat pemerintahan
dipaksakan dipindah ke sekitar Jakarta, seperti Jonggol, Kabupaten Bogor, maka
Sonny yakin hal itu hanya akan bertahan dalam waktu pendek, bukan untuk jangka
panjang. "Itu seperti zero sum game, memindahkan masalah ke tempat lain
tanpa menyelesaikan masalahnya," kata Sonny. Oleh karena itu, ia menilai
kota di luar Jawa lebih ideal sebagai Ibukota baru RI.
Tata Mutasya
Peraih master di bidang manajemen
pembangunan dari Universitas Turin, Italia, ini mendukung pemindahan Ibukota
sebagai cara meratakan pembangunan. Tata menyatakan, perlu ada dobrakan atas
sentralisasi pembangunan di Jawa khususnya Jakarta yang sudah terjadi sejak era
kolonial.
"Selama ini tidak ada
rekayasa ulang atas peninggalan kolonial itu," kata Tata dalam sebuah
diskusi di Jakarta, Kamis 29 Juli 2010.
M Jehansyah Siregar
Arsitek jebolan Institut
Teknologi Bandung yang mendapat doktor di bidang perencanaan kota dari
Universitas Tokyo ini mendukung pemindahan Ibukota. Namun, peneliti di Sekolah
Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB ini menyatakan,
memindahkan Ibukota diperlukan visi yang kuat yang disertai regulasi yang kuat
setingkat Undang-Undang.
Indonesia perlu meniru model
regulasi yang diterapkan oleh Malaysia untuk membangun Putrajaya. Jika regulasi
setingkat Undang-undang di Indonesia telah siap maka secara simultan langsung
dibuat badan yang berkompeten untuk membangun Ibukota baru guna menghindari
berbagai konflik dan spekulan.
Menurut Jehan, tidak perlu
membuka lahan baru untuk membangun Ibukota baru, melainkan cukup dengan
melanjutkan pembangunan kota yang telah ada. Berdasarkan berbagai kajian yang
telah ada, Kalimantan pulau yang telah siap secara infrastruktur dan secara
geografis Kalimantan jauh dari pusat gempa dan gunung berapi.
Kebijakan pemindahan Ibukota
harus segera dilaksanakan agar Indonesia tidak tertinggal dari negara lain.
Menurut Jehansyah saat ini Indonesia telah tertinggal dari negara-negara Asia
Tenggara lainnya. Bahkan Ia memprediksi, Myanmar akan segera menyalip posisi
Indonesia karena negeri itu telah lebih dahulu memindahkan Ibukota negara pada
2005 lalu.
"Mungkin nanti saat kita
memulai pemindahan Ibukota, Myanmar telah maju. Semoga saja kita tidak tersalip
Timor Leste," ujarnya lalu tertawa.
Setelah
membaca menurut pakar diatas menurut sobat bagaimana ? apakah perlu ibukota di
pindahan atau tetap di jakarta. Memang pemindahan ibukota membutuhkan biaya
yang besar. Tetapi dampak positif yang akan timbul akan lebih besar yang akan
di terimah rakyat indonesia. Tapi apakah sobat tau bahwa pemindahan ibukota ii
sudah di canangkan oleh presiden pertama kita bung karno hingga mantan presiden
kita yang terakhir yaitu bapak susilo bambang yudhoyono atau Pak BeYe.
Menurut sobat semua, kota mana
yang yang pantas menjadi ibukota negara kita yang baru. Biar sobat punya
referensi sehingga dapat menentukannya, berikut Syarat ibukota yang baru ialah
yaitu memiliki infrastruktur yang memadai contohnya adanya bandar udara, jalan
raya yang luas, dan rel kereta api. Syarat kedua ialah kota yang menjadi calon
ibukota yang baru harus luas sehingga dapat di kembangkan dan memiliki potensi
dalam pengembangannya. Yang terakhir adalah potensi bencana alam yang kecil dan
kota tersebut bisa tetap bertahan saat kondisi perang.
Setelah ebaca syarat tersebut,
silakan eluar pendapat sobat kota yang layak menjadi ibukota yang baru.
Komentar
Posting Komentar